Kamis, 12 Januari 2012

Senin, 05 Desember 2011

Makalah Kepemimpinan


KEPEMIMPINAN

PENDAHULUAN

Pentingnya produktivitas kerja mencakup banyak hal, dimulai dari produktivitas tenaga kerja, produktivitas organisasi, produktivitas modal, produktivitas pemasaran, produktivitas produksi, produktivitas keuangan dan produktivitas produk. Pada tahap awal revolusi industri di negara-negara Eropah, perhatian lebih banyak tertuju pada bidang produktivitas tenaga kerja, produktivitas produksi dan produktivitas pemasaran. Sedangkan di negara Jepang, perhatian peningkatan produktivitas tertuju pada produktivitas tenaga kerja dan produktivitas organisasi, sehingga keharmonisan kepentingan buruh dan majikan dipelihara dengan baik.
Sedangkan kepemimpinan memainkan peranan yang amat penting, bahkan dapat dikatakan amat menentukan dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pimpinan membutuhkan orang lain, yaitu bawahan untuk melaksanakan secara langsung tugas-tugas, di samping memerlukan sarana dan prasarana lainnya. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan usaha dan iklim yang kondusif di dalam kehidupan organisasional.
Bennis (dalam Kartono, 1982) memberi batasan kepemimpinan sebagai “… the process by which an agent induces a subordinate to behave in a desired manner” (proses yang digunakan seorang pejabat menggerakkan bawahannya untuk berlaku sesuai dengan cara yang diharapkan. Oleh karena pentingnya peranan kepemimpinan di dalam kehidupan organisasional, ada pakar yang menyebut bahwa “Leadership is getting things done by the others”.Seorang pemimpin di dalam melaksanakan kepemimpinan haruslah memiliki kriteria-kriteria yang diharapkan, dalam arti seorang pemimpin harus memiliki kriteria yang lebih dari pada bawahannya misalnya jujur, adil, bertanggung jawab, loyal, energik, dan beberapa kriteria-kriteria lainnya. Kepemimpinan merupakan sebuah hubungan yang kompleks, oleh karena berhadapan dengan kondisi-kondisi ekonomi, nilai-nilai sosial dan pertimbangan politis.
Latar Belakang
  1. Hakikat Menjadi Seorang Pemimpin
  2. Teori Untuk Menjadi Pemimpin Yang Baik
  3. Menjadi Pemimpin Yang Melayani
  4. Menjadi Pemimpin Sejati
  5. Hubungan Kearifan Lokal dengan Kepemimpinan














Hakikat pemimpin
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya
pemimpin. Di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya
pemimpin atau kepala Keluarga. Di sebuah Negara ada Presidennya.
Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu
masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar.
Dari pengantar di atas, terasa dan terbayang sekali betapa dalam
pandangan terhadap "pemimpin" yang mempunyai kedudukan yang sangat
penting, karenanya siapa saja yang menjadi pemimpin tidak boleh
dan jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hal yang  tidak benar.Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin harus memahami
hakikat kepemimpinan dalam pandangan yang mendalam sbb :

1. Tangung Jawab, Bukan Keistimewaan.

Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga
atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar
sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggung jawabkannya,.
Bukan hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah. Oleh karena
itu, jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu
keistimewaan sehingga seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh
merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus
diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain tidak
mengistimewakan dirinya.


2. Pengorbanan, Bukan Fasilitas

Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau
kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan,
tapi justru ia harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanan, apalagi
ketika masyarakat yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan
sangat sulit.

Karena itu menjadi terasa aneh bila dalam anggaran belanja negara atau
propinsi dan tingkatan yang dibawahnya terdapat anggaran dalam
puluhan bahkan ratusan juta untuk membeli pakaian bagi para pejabat,
padahal ia sudah mampu membeli pakaian dengan harga yang mahal
sekalipun dengan uangnya sendiri sebelum ia menjadi pemimpin atau pejabat.

3. Kerja Keras, Bukan Santai.

Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang besar untuk menghadapi dan
mengatasi berbagai persoalan yang menghantui masyarakat yang
dipimpinnya untuk selanjutnya mengarahkan kehidupan masyarakat untuk
bisa menjalani kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan
kesejahteraan.
Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh kesungguhan
dan optimisme.


4. Melayani, Bukan Sewenang-Wenang.

Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya, karena itu menjadi
pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan kewenangan yang besar untuk
bisa melayani masyarakat dengan pelayanan yang lebih baik dari pemimpin
sebelumnya

Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan
terhadap orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan
hidup, ini berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk membohongin
rakyatnya apalagi menjual rakyat, berbicara atas nama rakyat atau
kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga
atau golongannya.
Bila pemimpin seperti ini terdapat dalam kehidupan kita, maka ini adalah
pengkhianatan yang paling besar.

5. Keteladanan dan Kepeloporan, Bukan Pengekor.

Dalam segala bentuk kebaikan, seorang pemimpin seharusnya menjadi
teladan dan pelopor, bukan malah menjadi pengekor yang tidak memiliki
sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ketika seorang pemimpin
menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya, maka ia telah
menunjukkan kejujuran itu. Ketika ia menyerukan hidup sederhana dalam
soal materi, maka ia tunjukkan kesederhanaan bukan malah kemewahan.
Masyarakat sangat menuntut adanya pemimpin yang bisa menjadi pelopor dan teladan dalam kebaikan dan kebenaran.
Pemimpin Yang Melayani

Dewasa ini manusia sering beranggapan bahwa pemimpin haruslah menjadi orang yang dihormati dan dilayani oleh para pengikutnya. Tanpa hak-hak spesial seperti itu, maka seorang dirasakan tidak dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Akan tetapi, hal di atas tidak sesuai dengan konsep modern kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang melayani, sebab pemimpin yang melayani adalah seorang yang menggerakkan dan mentransformasi orang secara khas.

Seorang pemimpin bertugas merumuskan visi komunitasnya, kemudian menciptakan kondisi yang membuat komunitas atau organisasinya bergerak menuju visi tadi. Sementara ia dan pengikutnya bergerak mereka mengalami perubahan atau transformasi. Kemampuan untuk menimbulkan gerak dan transformasi terjadi karena berakar dari kepercayaan, baik yang berasal dari Pencipta dan manusia lainnya.

Teori tentang kepemimpinan yang melayani mulai muncul sejak tahun 1977 ketika R.K. Green Leaf menulis buku " Servant Leadership : A Journey Into the Nature of Legitamate Power and Greatness".

Seorang pemimpin yang melayani hanya dapat melakukan hal itu bila ia menghayati makna peran sebagai orang yang melayani. Ia melakukan hal itu karena ingin melayani orang-orang, ia terdorong untuk membuka kesempatan agar orang-orang disekitanya memiliki kebebasan lebih luas untuk berkembang atau mengalami transformasi. Dengan bahasa sederhana ia dapat menjadi pemimpin yang melayani bila memiliki hati yang melayani.

Secara definisi seorang yang melayani adalah seorang pemimpin yang sangat peduli atas pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut, dirinya dan komunitasnya, karena itu ia mendahulukan hal-hal tersebut daripada pencapaian ambisi pribadi (personal ambitious) dan kesukaannya saja. Impiannya ialah agar orang yang dilayaninya tadi akan menjadi pemimpin yang melayani juga.

Seorang pemimpin yang matang akan menyadari bahwa pola atau gaya dan paradigmanya memang baik untuk masa dimana ia melayani, namun di masa depan corak lingkungan kerja, dinamika organisasi dan komunitasnya akan berbeda sehingga dibutuhkan suatu pendekatan, pola dan gaya kepemimpinan yang baru. Pemimpin yang berhasil juga memiliki kesadaran tentang life cycle atau daur hidup komunitas yang dipimpinnya. Ada masa lahir, masa pertumbuhan, ada masa puncak dan ada masa penurunan serta uzur. Pada setiap masa dibutuhkan corak kepemimpinan yang berbeda-beda. Kematangan seorang pemimpin juga akan terlihat dalam kesediaanya menerima fakta bahwa orang yang dipersiapkannya mungkin akan menentangnya, mengkritik kebijakannya dan mengubah banyak hal.
GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN PRODUKTIVITAS KERJA
Gaya kepemimpinan, Secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan/pegawai. Hal ini didukung oleh Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang termasuk di dalam lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan produktivitas kerja. Dewasa ini, banyak para ahli yang menawarkan gaya Kepemimpinan yang dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan, dimulai dari yang paling klasik yaitu teori sifat sampai kepada teori situasional.
Dari beberapa gaya yang di tawarkan para ahli di atas, maka gaya kepemimpinan situasionallah yang paling baru dan sering di gunakan pemimpin saat ini. Gaya kepemimpinan situasional dianggap para ahli manajemen sebagai gaya yang sangat cocok untuk diterapkan saat ini.
Sedangkan untuk bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan yaitu bawahan yang tidak mampu tetapi berkemauan, maka gaya kepemimpinan yang seperti ini masih pengarahan, karena kurang mampu, juga memberikan perilaku yang mendukung. Dalam hal ini pimpinan/pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah (two way communications), yaitu untuk membantu bawahan dalam meningkatkan motivasi kerjanya.
Selanjutnya, yang mampu tetapi tidak mau melaksanakan tugas/tangung jawabnya. Bawahan seperti ini sebenarnya memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan, akan tetapi kurang memiliki kemauan dalam melaksanakan tugas. Untuk meningkatkan produktivitas kerjanya, dalam hal ini pemimpin harus aktif membuka komunikasi dua arah dan mendengarkan apa yang diinginkan oleh bawahan. Sedangkan gaya delegasi adalah gaya yang cocok diterapkan pada bawahan yang memiliki kemauan juga kemampuan dalam bekerja. Dalam hal ini pemimpin tidak perlu banyak memberikan dukungan maupun pengarahan, karena dianggap bawahan sudah mengetahui bagaimana, kapan dan dimana mereka barus melaksanakan tugas/tangung jawabnya. Dengan penerapan gaya kepemimpinan situasional ini, maka bawahan/pegawai merasa diperhatikan oleh pemimpin, sehingga diharapkan produktivitas kerjanya akan meningkat.
Selain itu ada beberapa jenis gaya kepemimpinan yang di tawarkan oleh para pakar leardership, mulai dari yang klasik sampai kepada yang modern yaitu gaya kepemimpinan situasional model Hersey dan Blancard. (dalam Erika revida)

1. Gaya Kepemimpinan Kontinum
Gaya ini pertama sekali dikembangkan oleh Robert Tannenbaum dan warren Schmidt. Menurut kedua ahli ini ada dua bidang pengaruh yang ekstrim, yaitu:
1). Bidang pengaruh pimpinan (pemimpin lebih menggunakan otoritas)
2). Bidang pengaruh kebebasan bawahan. (Pemimpin lebih menekankan gaya demokratis)

2. Gaya Managerial Grid
Sesungguhnya, gaya managerial grid lebih menekankan kepada pendekatan dua aspek yaitu aspek produksi di satu pihak, dan orang-orang di pihak lain. Blake dan Mouton menghendaki bagaimana perhatian pemimpin terhadap produksi dan bawahannya (followers).
Dalam managerial grid, ada empat gaya yang ekstrim dan ada satu gaya yang berada di tengah-tengah gaya ekstrim tersebut,
a. Grid 1 manajer sedikit sekali memikirkan produksi yang harus dicapai. sedangkan juga sedikit perhatian terhadap orang-orang (followers) di dalam organisasinya. Dalam grid ini manajer hanya berfungsi sebagai perantara menyampaikan informasi dari atasan kepada bawahannya.
b.Grid 2 manajer mempunyai perhatian yang tinggi terhadap produksi yang akan dicapai juga terhadap orang-orang yang bekerja dengannya. Manajer seperti ini dapat dikatakan sebagai “manajer tim” yang riel (The real team manajer) karena ia mampu menyatukan antara kebutuhan-kebutuhan produksi dan kebutuhan orang-orang secara individu.
c. Grid 3 manajer memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap orang-orang dalam organisasi, tetapi perhatian terhadap produksi adalah rendah. Manajer seperti ini disebut sebagai “pemimpin club”. Gaya seperti ini lebih mengutamakan bagaimana menyenangkan hati bawahannya agar bawahannya dapat bekerja rileks, santai, bersahabat, tetapi tidak ada seorangpun yang berusaha untuk mencapai produktlvitas.
d.Grid 4. adalah manajer yang menggunakan gaya kepemimpinan yang otokratis (autrocratic task managers), karena manejer seperti ini lebih menekankan produksi yang harus dicapai organisasinya, baik melalui efisiensi atau efektivitas pelaksanaan kerja, tetapi tidak mempunyai atau sedikit mempuyai perhatian terhadap bawahan.
Pemimpin yang baik adalah lebih memperhatikan terhadap produksi yang akan dicapai maupun terhadap orang-orang. Grid seperti ini berusaha menyeimbangkan produksi yang akan dicapai dengan perhatian terhadap orang-orang, dalam arti tidak terlalu menyolok. Manajer seperti ini tidak terlalu menciptakan target produksi yang akan dicapai, tetapi juga tidak mempunyai perhatian yang tidak terlalu menyolok kepada orang-orang.

3. Tiga Dimensi dari Reddin
Menurut Reddin, ada jenis gaya yang barus diperhatikan yaitu gaya yang efektif dan gaya yang tidak efektif. Gaya kepemimpinan dari Reddin ini tidak terpengaruh kepada lingkungan sakitarnya.
Gaya yang efektif terdiri atas empat jenis, yaitu :
a. Eksekutif. Gaya ini mempunyai perhatian yang banyak terhadap tugas-tugas pekerjaan dan hubungan kerja. Manajer seperti ini berfungsi sebagai motivator yang baik dan mau menetapkan produktivitas yang tinggi.
b. Pencinta Pengembangan (Developer). Pada gaya ini lebih mempunyai perhatian yang penuh terhadap hubungan kerja, sedangkan perhatian terhadap tugas-tugas pekerjaan adalah minim.
c. Otokratis yang baik. Gaya kepemimpinan ini menekankan perhatian yang maksimum terhadap pekerjaan (tugas-tugas) dan perhatian terhadap hubungan kerja yang minimum sekali, tetapi tetap berusaha agar menjaga perasaan bawahannya.
Gaya yang tidak efektif adalah sebagai berikut :
1). Pencinta Kompromi (Compromiser).
Gaya Kompromi ini menitikberatkan perhatian kepada tugas dan hubungan kerja berdasarkan situasi yang kompromi.
2). Missionari
Manajer seperti ini menilai keharmonisan sebagai suatu tujuan, dalam arti memberikan perhatian yang besar dan maksimum pada orang-orang dan hubungan kerja tetapi sedikit perhatian terhadap tugas dan perilaku yang tidak sesuai.
3). Otokrat
Pemimpin tipe seperti ini memberikan perhatian yang banyak terhadap tugas dan sedikit perhatian terhadap hubungan kerja dengan perilaku yang tidak sesuai.
4). Lari dari tugas (Deserter)
Manajer yang memiliki gaya kepemipinan seperti ini sama sekali tidak memberikan perhatian, baik kepada tugas maupun hubung kerja.



4. Gaya Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpin situasional mencoba mengkombinasikan proses kepemimpinan dengan situasi dan kondisi yang ada. Gaya ini diketengahkan oleh Hersey dan Blancard yang amat menarik untuk dipelajari.
Menurut gaya kepemimpinan situasional, ada tiga hal yang saling berhubungan yaitu:
a) Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan.
b) Jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pimpinan.
c) Tingkat kematangan dan kesiapan para pengikut yang di tunjukkan dalam melaksanakan tugas kasus, fungsi atau tujuan tertentu.
Pada dasarnya, konsepsi gaya kepemimpinan situasional menekankan kepada perilaku pimpinan dengan bawahan (followers) saja, yang dihubungkan dengan tingkat kematangan dan kesiapan bawahannya. Kematangan (maturity) dalam hal ini diartikan sebagai kemauan dan kemampuan dari bawahan (followers) untuk bertanggung jawab dalam mengarahkan perilaku sendiri.
Menurut Hersey dan Blancard penemunya (1979) ada empat jenis tingkat kematangan bawahan (followers) yaitu :
a. Orang yang tidak mampu dan tidak mau atau tidak yakin (M1).
b. Orang yang tidak mampu tetapi mau (M2).
c. Orang yang mampu tetapi tidak mau atau kurang yakin (M3).
d. Orang yang mampu dan mau atau yakin (M4).
Gaya kepemimpinan “Partisipasi” adalah gaya yang sesuai untuk tingkat kematangan Mampu akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab (M3)/tugas, karena ketidakmauan atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tangung jawab seringkali disebabkan karena kurang keyakinan. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendegarkan mendukung usaha-usaha yang dilakukan para bawahan/pengikutnya.
Selanjutnya, untuk tingkat kematangan yang mampu dan mau/yakin (M4), maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya “Delegasi”, karena orang/bawahan seperti ini adalah mampu melaksanakan tugas dan mau/yakin. Dengan gaya delegasi ini pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskannya tentang bagaimana, Kapan dan dimana pekerjaan mereka harus dilaksanakan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.
Untuk meningkatkan Produktivitas kerja, gaya kepemimpinan situasional adalah gaya yang paling sesuai diterapkan seorang pemimpin/pimpinan saat ini, mengingat bahwa penerapan gaya ini disesuaikan dengan tingkat kematangan bawahan/pengikut. Hal ini didasari asumsi bahwa setiap bawahan/orang lain akan memiliki tingkat kematangan yang berbeda satu sama lain.


















Pemimpiin Sejati
Wah, kalau berbicara masalah "pemimpin", jujur saya juga masih mencari arti sejati dari kerakter ideal seorang pemimpin. Tapi, saya kira tidak salah apabila saya mencoba berbicara sedikit masalah pemimpin itu sendiri karena kita sebagai manusia memang memiliki kodrat sebagai pemimpin seorang dan juga sebagai orang yang dipimpin. Tak dipungkiri ketika kita berbicara masalah "pemimpin" logika sederhana kita akan berkata tentang kesempuranaan, loyalitas, kemampuan, dan lain-lain. Nah, pemikiran rendahan saya sekarang akan mencoba mendeskripsikan seorang pemimpin sejati berdasarkan pengalaman pendek yang saya miliki. Kira-kira garis besarnya seperti ini...

Laki-laki, mengapa harus pria? jawabannya sederhana, Mereka cenderung memiliki emosi yang lebih stabil dalam beberapa keadaan dan bisa berfikir jernih dalam suasana keruh. Harus kita akui pula bahwa pria memiliki kecendrungan untuk mempengaruhi ketimbang dipengaruhi. Oleh karena itu, laki-laki menjadi syarat utama seorang pemimpin. Karen bagaimanapun juga laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Jadi saya rasa untuk yang satu ini sudah cukup jelas.
Merangkul semua golongan, maksudnya adalah seorang pemimpin harus bisa berkomunikasi dengan baik pada setiap orang yang diimpinnya. Kita tahu bahwa setiap manusia memiliki sifat heterogen yang sangat tinggi. Dalam hal ini, penting bagi seorang pemimpin bisa berkomunikasi dengan baik pada setiap orang agar kehadirannnya sebagai figur "pemimpin" dapat diterima mayoritas anggotanya.
Loyalitas, ketika kita berbicara mengenai kepemimpinan, tak dipungkiri tanggung jawab menjadi kata pertama yang mungkin muncul dalam benak kita. Loyalitas menunjukkan apakah seseorang itu merasa punya tanggung jawab lebih atau tidak, karena seorang pemimpin tak akan menjadi pemimpin yang baik sebelum ia berani mengorbankan sesuatu untuk organisasi atau kelompok yang dipimpinnya.
Memiliki virus emosi, yang dimaksud virus disini adalah kemampuan untuk menularkan emosi positif secara brutal dalam waktu singkat kepada setiap anggotanya. Karena, semua hal yang kita lakukan tergantung dengan motivasi yang mendorong kita melakukan sesuatu. Semakin besar dan kuat dorongan itu, maka semakin baik pula hasil yang kita dapatkan. Minimal, ketika suatu pekerjaan didasari oleh semangat yang baik proses kerja juga dipastikan akan berlangsung positif. Oleh karena itu, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa mentransfer emosi dengan baik. Dalam hal ini kita berbicara tentang emosi positif tentunya.
Mengenal medan, ketika seseorang sudah menjadi pemimpin, artinya dia telah keluar dari zona aman dari suatu kelompok, otomatis akan banyak rintangan yang akan ia hadapi kedepannya. Setidaknya, ketika seseorang telah mengenali masalah maka kemenangan awal telah ia dapatkan.
Mungkin itu sekedar kata-kata tanpa guna dari saya sebagai orang tambahan yang ada di muka bumi. Yang jelas, ketika kita berbicara masalah pemimpin, yang harus digasrisbawahi ialah masalah proses selama ia menjadi pemimpin. Kepemimpinan itu tidak bisa dilihat dari inputnya, tetapi bagaimana proses merubahnya menjadi seorang yang puya karakter kepemimpinan. Artinya, seorang pemimpin haruslah berkembang sesuai dengan kebutuhan anggotanya, bukan memaksakan kepemimpinan dengan semua kemampuan yang dimilkinya. Alasannya sederhana, "masalah" itu statis, ia harus diselesaikan sesuai dengan dimensi waktunya agar dapat terselesaikan dengan baik. Sekian dari saya dan terimakasih.....

Skandal bisnis kelas kakap yang memukul balik perusahaan raksasa Enron dan WorldComm serta meledaknya krisis finansial global yang membawa sang goliath keuangan Lehman Brothers ke jurang kehancuran, membuat banyak kalangan pebisnis di Barat mencari nilai-nilai kepemimpinan alternatif dari yang selama ini mereka praktikkan. BusinessWeek belum lama ini menurunkan laporan adanya upaya kalangan pebisnis mencari moral values dari Cina – yang berlandaskan ajaran Buddha, Konfusianisme dan Taoisme – guna mencari solusi atas krisis yang terjadi.

Betulkah ada nilai kepemimpinan yang berbeda antara Barat yang tengah goyah dengan Timur yang kini mungkin jadi rujukan baru? Para pakar manajemen dan tokoh bisnis kawakan yang ditemui SWA, punya pendapat senada, bahwa pada dasarnya nilai kepemimpinan di seluruh dunia itu sama, bersifat universal. TP Rahmat mencontohkan beberapa karakter seperti berintegritas, disiplin, dan punya passion, di antara karakter yang wajib ada pada seorang pemimpin. “Yang membedakan hanya gaya kepemimpinannya,” kata mantan CEO Grup Astra ini. Dalam istilah Abdul Gani, mantan CEO Garuda Indonesia, yang berbeda hanyalah sampulnya, cara membawakannya. Menurutnya, para pebisnis di sana mengalami imbas krisis yang luar biasa karena keserakahan. “Mereka itu greedy,” ia menandaskan.

Lantas mengapa dunia korporasi Barat sampai mengalami krisis bahkan skandal bisnis kelas kakap? Padahal, sudah tak terhitung konsep dan metode manajemen yang diintroduksi. Mereka juga dari dulu sudah mengenal manajemen risiko. Bahkan, belakangan dipagari pula dengan konsep Good Corporate Governance dan di Amerika Serikat diterapkan pula Sarbanne-Oxley Act, yang intinya mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan fairness di dunia bisnis. Jadi, di mana salahnya?

“Rambu-rambu dari pemerintah tidak cukup,” kata TP Rahmat. Namun, ada jawaban yang juga cukup mendasar, yakni karena mereka tak melaksanakan konsep yang ideal dan indah itu secara konsisten dan hakiki. Pelaksanaannya lebih sebatas prosedur dan sistem, sementara nilai-nilai prinsipnya tidak terinternalisasi. Boleh jadi, karena sisi moral dari konsep itu tak tertanam dengan baik di diri pelaku bisnis. Tak anehlah, banyak kalangan pebisnis di AS dan Eropa mulai menengok ke kultur Timur yang ajarannya amat menekankan nilai moral.

Dan, hal itu terkait erat dengan cara atau pendekatan. Rinaldi Firmansyah, CEO PT Telkom, membenarkan bahwa ada pendekatan kepemimpinan bisnis yang berbeda antara di Barat (negara-negara maju seperti AS dan Eropa) dengan Timur. Ia mencontohkan, karena budaya kekeluargaan di Timur lebih kental, maka dalam pengambilan keputusan, pendekatan human relationship-nya lebih kuat. Sementara di Barat lebih cenderung individual. “Sekarang, di sekolah-sekolah negara maju yang diajarkan malah kultur Timur, misalnya bagaimana berinteraksi di dalam tim,” katanya. Satu hal lagi yang membedakan, dunia kepemimpinan bisnis di Barat lebih kental dengan budaya pemikiran (cipta dan karsa) ketimbang budaya rasa yang ditonjolkan oleh masyarakat Timur.

Cina, yang menjadi rujukan baru karena kekayaan tradisinya, rupanya memang telah menyadari sejak dini. Jauh sebelum krisis finansial meletus, Pemerintah Cina telah mendorong para pebisnisnya untuk menggali nilai moral warisan leluhur mereka sebagai pedoman berbisnis. Realisasinya, pada 2006 di Hangzhou (ibu kota Provinsi Zhejiang, RRC), digelar the World Buddhist Forum, yang antara lain berusaha mencari nilai kepemimpinan bisnis alternatif.

Nah, semestinya sikap sadar diri seperti itu juga dimiliki oleh pemerintah ataupun kalangan pebisnis di Tanah Air. Pasalnya, dari segi kekayaan tradisi kulturalnya, berani taruhan, Indonesia tak kalah dibanding Cina. Mulai dari keragaman dan banyaknya suku/etnis, bahasa daerah, adat istiadat, hingga pengaruh ajaran agama/budaya yang masuk ke Nusantara (dari Hindu, Buddha, Islam, Barat, Cina, sampai budaya kontemporer) yang seiring perjalanan waktu mengalami proses akulturasi. “Indonesia dengan beragam suku bangsa memang memiliki potensi modal sosial yang sangat besar, termasuk nilai-nilai kearifan bisnis lokal,” kata Prof. Eko Prasojo, pakar administrasi pemerintahan dari FISIP UI.

Beruntung, meski agak telat – tentu lebih baik telat daripada tidak sama sekali – salah satu institusi akademis andalan Indonesia, UGM, berencana menggelar hajatan World Conference on Science, Education & Culture, dengan tema Local Wisdom Inspiring Global Solutions, pada Oktober 2010. “Indonesia memiliki kekayaan local wisdom yang bisa dipakai –termasuk oleh negara lain – untuk mengatasi berbagai persoalan global,” kata Rektor UGM Prof. Sudjarwadi, mengenai alasan digelarnya hajatan internasional, pada konferensi pers 12 Agustus lalu. Ia menyebutkan salah satu contoh kearifan lokal itu adalah budaya gotong royong, yang terbukti mampu membawa proses pemulihan pascagempa dan Tsunami di Indonesia yang paling cepat di dunia. Kearifan yang dimaksud tentunya bukan cuma soal pengetahuan, melainkan juga pola tindakan dan interaksinya (di tengah masyarakat). “Kalau tidak ada semangat gotong royong, tidak mungkin recovery itu bisa cepat,” Sudjarwadi menandaskan. Selain mengundang kalangan perguruan tinggi, rencananya panitia juga hendak mendatangkan tokoh dunia seperti Nelson Mandela dan Bill Gates.

Kita tentu boleh berharap bahwa forum akademis berskala internasional itu mampu menggali nilai kearifan lokal dari Bumi Pertiwi yang bisa disumbangkan pada dunia. Namun, sembari menanti pelaksanaannya, kita bisa mencari sedikit contoh kearifan lokal yang bisa memperkaya nilai-nilai kepemimpinan baru. “Dalam hal kepemimpinan, Indonesia juga memiliki local wisdom yang cukup bagus bila diterapkan di tataran internasional,” kata Sudjarwadi. Ia mencontohkan ajaran Ki Hajar Dewantara yang terkenal, yakni: Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (yang bermakna: yang di depan memberi teladan, yang di tengah memberi semangat, dan yang di belakang memberi dorongan). Contoh lainnya yang disebutkan Sudjarwadi adalah Pustaka Hasta Dasa Parateming Prabu, yang berisi ajaran 18 prinsip kepemimpinan. Pitutur luhur ini, menurut beberapa sumber lainnya, memang diduga kuat pernah diterapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit tempo dulu.

Peninggalan tertulis lainnya (dari leluhur) yang mengajarkan nilai kearifan lokal adalah Serat Wedhatama, yang ditulis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (1811-1881). Inti dari karya penggede sekaligus pujangga ini bahwa untuk memiliki martabat di tengah kehidupan, orang harus mampu meraih tiga hal, yakni: kedudukan (wirya), kekayaan (arta), dan kepandaian (winasis). Konon, Mangkunegara IV merumuskan nilai-nilai ini berdasarkan pengalaman hidup Panembahan Senopati (1587), pendiri Kerajaan Mataram, yang dikenal bersikap ksatria dan andap asor (rendah hati).

Masih dari Tanah Jawa, ada lagi salah satu ajaran kepemimpinan tertua yang dinilai amat penting, yakni Hasta Brata, atau 8 perilaku kepemimpinan. Menurut ajaran ini, seorang pemimpin harus bisa melakoni 8 perilaku (yang disimbolkan dengan unsur alam), yakni: bumi (sifat murah hati), dahana/api (berani dan berwibawa), samudra (adil dan bijaksana), maruta/angin (ada di mana-mana, dekat dengan rakyat), angkasa (punya hati dan pikiran yang luas), surya/matahari (memberi energi kehidupan), candra/bulan (lembut), dan kartika/bintang (menjadi teladan dan pedoman). Manajemen ABRI (sekarang TNI) diketahui menerapkan prinsip-prinsipnya dengan cukup konsisten, terutama dalam manajemen teritorial. Dan, terlepas dari kekurangan pada pelaksanannya, ketika memimpin negara ini, (almarhum) Pak Harto pun mengaku menerapkan prinsip kepemimpinan Hasta Brata.

Selain itu (sekali lagi terlepas dari bagaimana praktiknya), Pak Harto juga mengaku menerapkan beberapa filosofi Jawa lainnya yang sebenarnya cukup ideal dalam kepemimpinannya, di antaranya: ambeg parama arta (sederhana, tidak berlebih-lebihan), waspada purba wisesa (mengawasi dan mengoreksi bawahan), satya (setia pada kepentingan negara), gemi nastiti (tahu prioritas), blaka (berani bertanggung jawab), dan legawa (rela dan ikhlas menyerahkan pada generasi penerus).

Tentu, kearifan lokal ini bukan cuma dimiliki etnis Jawa, tetapi juga berbagai etnis lainnya di Indonesia. Sayang, di masa lalu tidak semua etnis memiliki budaya tulis-menulis yang cukup memadai. Banyak nilai kearifan lokal ini yang hanya dipelihara dengan budaya lisan. Salah satu etnis yang juga cukup beruntung leluhurnya punya budaya aksara dan sistem etika adalah etnis Bugis Makassar. Menurut Dr. Syahriar Tato, Ketua Badan Kerjasama Kesenian Indonesia Sulawesi Selatan, etnis Bugis Makassar bisa mencapai puncak kebudayaannya di masa lampau setelah diciptakannya aksara lontara dan bahasa Bugis Makassar. Dengan bantuan “alat-alat” komunikasi ini, leluhur etnis ini menyusun sistem etika dan nilai moral yang menjadi pegangan orang Bugis-Makassar, di antaranya: lempu (jujur), getteng (tegas dan konsisten), sipakatau (saling menghargai), ada tongeng (berkata benar), barani (berani), macca (pintar),dan makkareso (giat berusaha). Dalam konteks kepemimpinan, antara lain dikenal prinsip: taro ada taro gau (satunya kata dan perbuatan), sipatuo sipatokkong (setia kawan), dan sebagainya.

Etnis Minang juga punya nilai kearifan yang menarik disimak. Contohnya, konsep kepemimpinan dalam tradisi Minang mengenal filosofi “ditinggikan satu ranting, didahulukan satu langkah”. Maksudnya, seorang pemimpin dihormati bukan karena bisa bertindak semaunya. Sebab, kalau sampai bertindak salah, ia akan dihujat habis-habisan.

Contoh filosofi lain dari budaya Minang yang juga menarik adalah ajaran yang berbunyi “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Artinya, di mana pun orang Minang berada, ia harus bisa menyesuaikan diri (adaptif) dengan masyarakat sekitarnya.

Sekali lagi, tentu masih banyak nilai kearifan lokal lainnya dari berbagai daerah dan etnis di Tanah Air yang bisa dijadikan unsur pembangun nilai kepemimpinan alternatif. Sayangnya, tidak semua bisa disebutkan dalam artikel ini (contoh lainnya lihat: Tabel).

Di mata Tanri Abeng, kepemimpinan itu sesuatu yang sangat kompleks, karena merupakan kombinasi dari manajemen dan nilai-nilai yang dianut – yang bisa berlatar belakang kepercayaan, kultur, ataupun sejarah. Ia menilai, secara prinsip nilai kearifan yang diajarkan para leluhur sebenarnya juga dikenal dalam khazanah manajemen modern. Contohnya, ajaran Ki Hajar Dewantara pada dasarnya bisa diartikan sebagai to lead, to inspire dan to motivate. Ia sendiri mengaku telah menerapkan ajaran ini ketika menjabat Menneg Pemberdayaan BUMN di era Soeharto. Ketika ditugasi menyelamatkan Garuda Indonesia, Tanri memilih Robby Djohan sebagai dirut. “Di sini saya memberi kewenangan pada Robby, dan saya di belakangnya,” katanya. Namun, ketika ada masalah empat duta besar hendak “menyerang” Garuda, ia mengaku segera menempatkan diri di depan, karena masalahnya sudah bersifat politis.

Tanri juga mengaku mempraktikkan ajaran Hasta Brata. Contohnya sifat angin. Ketika dipercaya memimpin PT Multi Bintang Indonesia, ia langsung pergi keliling Indonesia, mengunjungi para staf di luar Jawa, bahkan terjun ke lapangan. “Presdir sebelum saya, belum pernah ada yang mengunjungi staf di luar Jawa,” katanya bangga.

Menurut pendapat Prof. Rhenald Kasali dari FEUI, penanaman nilai kearifan lokal ini tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai keluarga dan lingkungannya. Itulah mengapa ada perbedaan praktik nilai kepemimpinan bisnis Cina Medan dan Cina Jawa, misalnya. Ia mencontohkan pengusaha Irwan Hidayat, yang meskipun keturunan warga Cina, sangat kental dengan kultur Jawa. “Ia sangat larut dalam kultur Jawa, misalnya patuh pada orang tua, menabung dalam jumlah besar, dan menghargai nilai filosofinya,” kata Rhenald.

Lantas mengapa nilai kepemimpinan lokal kita tidak populer di kalangan masyarakat, tak seperti di Cina dan Jepang? Menurut Tjahjono Soerjodibroto, Dirut Sekolah Tinggi Manajemen PPM, Cina kuat menempanya. Sejak kecil, anak-anak di Cina sudah diajarkan berdagang. Begitu pula dengan Jepang, nasionalismenya ditanamkan sejak dini. Ia mencontohkan, anak-anak Jepang, bila diberi uang saku 100 yen, mereka akan membeli mainan produk dalam negeri. “Orang-orang Jepang memopulerkan nilai kepemimpinan dan kearifan lokalnya sejak kecil,” ujar mantan CEO Indosat ini.

Tjahjono menambahkan, tidak populernya nilai kearifan lokal seperti ajaran Ki Hajar Dewantara, karena tidak ada pihak yang menjabarkan secara serius. “Tidak ada yang pernah mendalami istilah itu untuk kemudian dikaitkan dengan realitasnya,” katanya.

Prof. Eko Prasojo dari UI lebih menunjuk penyebabnya ada di pemerintah yang tidak pernah serius memberi insentif untuk mengembangkan potensi nilai kearifan lokal ini. “Semua dibiarkan berjalan sendiri tanpa bantuan negara, sehingga nilai lokal tersebut tenggelam oleh nilai global yang bersifat kapitalis,” katanya. Ia juga menyayangkan orang Indonesia yang tak mau susah dan lebih memilih meniru budaya global.

Dalam beberapa hal, pendapat para tokoh yang diwawancarai SWA memang agak berbeda. Namun, dalam melihat nilai lokal versus nilai global (dalam hal ini Barat), pendapat mereka hampir senada, yakni sebaiknya kita tidak dikotomis. “Semua nilai kepemimpinan yang digunakan, baik dari Barat maupun Timur ada baiknya. Yang terpenting, konteksnya lokal,” kata Tjahjono. Eko pun senada mengatakan bahwa kita tidak boleh menutup mata terhadap nilai-nilai global karena sebenarnya nilai itu pun sesuatu yang dinamis dan terus berkembang. “Ya, karena perubahan sangat dahsyat dan perlu ada akulturasi,” Rhenald menimpali.

“Yang terpenting sekarang, bagaimaan kita mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal untuk memperkuat daya saing kita di dunia bisnis global,” ucap Eko.

Reportase: Moh. Husni Mubarak, Sigit A. Nugroho, Siti Ruslina, Kristiana Anissa, Rias Andriati, Gigin W. Utomo
Riset: Rohmat Purnadi dan Siti Sumariyati

Survei Pendapat CEO,
dari Isu Kepemimpinan Penting
hingga Pemimpin Idola

Rohmat Purnadi

Persaingan bisnis yang ketat rupanya memaksa para pelaku bisnis kembali melihat dan menilai praktik kepemimpinan di lingkungan perusahaannya. Sebab, selain dituntut harus berkinerja ciamik – terlihat dari ukuran kuantitatif seperti omset, laba, ROI, dan lain-lain – perusahaan juga harus sustainable. Melalui praktik kepemimpinan yang efektif, diyakini langkah perusahaan akan lebih terarah dan terpacu untuk mencapai keberhasilan, mempertahankan kelangsungan hidupnya, dan makin digdaya.

Melihat makin krusialnya isu kepemimpinan di era bisnis modern saat ini, SWA melakukan survei terhadap 30 CEO perusahaan ternama di Indonesia untuk menemukan masalah kepemimpinan yang paling penting di mata CEO. Survei ini juga mencoba menggambarkan karakter dan profil CEO ideal yang diperlukan oleh dunia bisnis sekarang, bagaimana CEO mengembangkan kader pemimpin, dan siapa saja kandidat pemimpin bisnis masa depan pilihan CEO.

Survei yang dilakukan selama Juni-Juli 2009 ini berhasil menemukan sejumlah isu kepemimpinan yang menurut para CEO mendesak dicarikan solusinya, yakni: kelangkaan jumlah calon pemimpin bisnis yang cemerlang (menurut 77,8% responden); karakter dan kemampuan yang harus dimiliki oleh pemimpin bisnis (70,4%); penjabaran peran dan tugas kepemimpinan yang benar-benar bisa menjawab permasalahan bisnis (70,4%); dan bagaimana seharusnya melakukan kaderisasi pemimpin secara efektif (52%).

Mengenai karakter, para CEO responden sepakat bahwa pemimpin bisnis masa depan seharusnya telah membekali diri dengan karakter kepemimpinan agar bisa sukses dan berkinerja gemilang. Karakter yang disebutkan cukup signifikan, yaitu: inspiring (92,6%), kreatif (88,9%), disiplin (81,5%), strategis (81,5%) dan visioner (74,1%).

Bagaimana dengan kaderisasi? Cara yang kebanyakan ditempuh adalah pelibatan sejak dini. Di sini calon pemimpin bisnis mulai aktif dilibatkan dan dipercaya untuk melakukan berbagai tugas, proyek dan tanggung jawab secara bertahap sesuai dengan target yang diharapkan. Cara ini dilakukan oleh hampir semua CEO responden (96,3%). Selain itu, CEO juga mengombinasikannya dengan cara lain: melakukan assessment psikologis secara berkala (85,2%); proses coaching dan mentoring secara langsung (77,8%); pelatihan dan pengembangan secara terstruktur (66,7%); desain jenjang karier yang jelas dan memotivasi (59,3%); memberikan posisi/tanggung jawab langsung di bawah CEO (44,4%); ataupun melalui kompetisi calon pemimpin (25,9%).

Survei ini juga meminta pendapat dan penilaian CEO responden mengenai siapa saja pemimpin atau calon pemimpin pilihan (yang diidolakan) mereka, baik dari dunia bisnis maupun nonbisnis (umum), baik dari dalam maupun luar negeri. Hasilnya cukup menarik! Untuk kategori pemimpin nonbisnis, Barack Obama menduduki posisi teratas. Presiden berkulit hitam pertama di Amerika Serikat ini memang sangat populer, tidak cuma di negaranya, tetapi juga di dunia internasional (termasuk negara-negara berpenduduk Muslim). Apalagi, di masa kecilnya Obama pernah tinggal di Indonesia. Posisi kedua ditempati pejuang antiapartheid dan mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela, sosok yang dinilai sangat karismatis dan inspiratif.

Yang lebih menarik lagi, dua di antara Top 5 pemimpin nonbisnis idola para CEO berasal dari dalam negeri, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Sri Mulyani. Pilihan ini boleh jadi terkait dengan rekam jejak yang cukup positif ataupun popularitas kedua tokoh ini selama kariernya sebagai eksekutif pemerintahan.

Untuk kategori pemimpin bisnis, nama tokoh bisnis legendaris di dunia seperti Bill Gates, Steve Jobs dan Jack Welch, masih amat diidolakan oleh CEO responden. Maklumlah, kiprah dan kontribusi nama-nama tersebut di dunia bisnis telah mampu memberi teladan dan inspirasi bagi banyak pelaku bisnis di dunia.

Kendati begitu, rupanya masih ada sejumlah nama tokoh pemimpin bisnis (ataupun yang sudah mantan) dari dalam negeri yang masih diidolakan oleh CEO responden, yakni: TP Rachmat, Tanri Abeng, Ciputra, dan Agus Martowardoyo. Sosok Agus patut diberi credit point, karena dari nama-nama tersebut hanya Agus yang hingga kini masih aktif sebagai CEO.

Lalu, siapa saja tokoh bisnis muda usia yang mereka nilai potensial untuk menjadi calon pemimpin bisnis yang disegani dalam 1-5 tahun mendatang? Dari survei ini sebenarnya muncul cukup banyak nama. Nah, nama yang paling banyak disebut adalah Sandiaga Uno. Kemunculan namanya memang dinilai pantas. Sebab, pria kelahiran Rumbai 28 Juni 1969 ini telah menggendong setumpuk prestasi di usianya yang relatif muda. Di antaranya, Sandy – sapaan akrabnya – pernah duduk sebagai Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia hingga pertengahan 2008. Sandy kini juga aktif di Kadin dan fokus pada pengembangan sektor UKM. Pemilik PT Saratoga Investama Sedaya dan PT Recapital Advisor ini juga tercatat sebagai salah satu pemegang saham perusahaan batu bara terbesar di dunia, PT Adaro.

Urutan berikutnya diisi nama-nama anak muda yang sedang moncer, yakni: Anindya Bakrie, Anis Baswedan, Eric Thohir dan Budi G. Sadikin.

Perlu diingatkan, hasil survei ini baru sebatas indikasi mengenai isu kepemimpinan yang aktual berikut tokoh-tokoh yang mereka nilai pantas dicatat kiprahnya. Jadi, banyak hal penting lainnya yang mungkin belum terliput. Karena itu, dengan menggunakan sikap positif dan pikiran terbuka, kita akan lebih mudah membaca dan memaknai temuannya.

Penutup
Kepemimpinan adalah suatu proses dimana pimpinan/pemimpin dapat mempengaruhi bawahannya/orang lain, agar bawahan/orang lain tersebut mau melakukan apa yang diinginkan oleh pimpinan/pemimpin tersebut. Gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan pimpinan/pemimpin dalam mempengaruhi bawahan/orang lain, agar tercapai apa yang diinginkannya. Produktivitas kerja adalah hasil kerja yang nyata diperoleh oleh tenaga kerja yang didasari sikap mental yang patriotik yang menganggap bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Cara-cara kerja hari ini harus lebih baik dari cara-cara kerja kemarin, dan cara-cara kerja hari esok harus lebih baik dari cara-cara kerja hari ini.